Kamis, 06 Januari 2011

Kisah persaksian pendeta BAHIRA akan keRosullan Muhammad bin Abdullah SAW

w0wkeh... Langsung ja kt simak persaksian pendeta Nasrani y bernama BAHIRA. Brikut kisahnya :

Sekali waktu ketika Rasulullah saw.
berlum beranjak dewasa dan masih
hidup bersama Abu Thalib,
pamannya itu mengadakan
perjalanan untuk berdagang ke Syria
seraya membawa serta Rasulullah
saw.
Kafilah dagangnya besar dan sarat
muatan. Tatkala mereka memasuki
Syria, mereka tiba di sebuah kota
bernama Busra dan berhenti
singgah dekat sebuah biara. Mereka
memasang tenda dan beristirahat.
Seorang pendeta bernama Bahira
keluar dari biara dan mengundang
kafilah itu untuk makan malam.
Semua orang dalam kafilah itu
menerima undangan pendeta dan
kemudian masuk ke dalam biara.
Akan tetapi, Abu Thalib
meninggalkan keponakannya di luar
guna menjaga dagangan mereka.
Bahira bertanya, “Sudahkan
semuanya hadir?” Abu Thalib
menjawab bahwa semuanya sudah
hadir, kecuali seorang anak muda,
anggota paling muda dalam
kafilahnya. Bahira berkata, “Ajaklah
dia kemari.” Abu Thalib yang
meninggalkan Rasulullah saw. di
luar di bawah sebuah pohon zaitun,
memanggil beliau agar masuk.
Bahira melihat Rasulullah saw. dari
dekat dan berkata kepadanya,
“ Mendekatlah kemari, aku harus
berbicara kepadamu.” Dia menarik
Rasulullah saw. ke samping. Abu
Thalib mengikuti mereka. Bahira lalu
berkata kepada Rasulullah saw.:
“ Aku akan bertanya kepadamu dan
bersumpah kepadamu demi Lat dan
‘ Uzza agar engkau menjawab
pertanyaanku.”
Rasulullah saw. menjawab, “Tak ada
sesuatu pun lebih menjijikkanku
daripada kedua berhala itu. ” Bahira
lalu berkata, “Baiklah, aku
bersumpah kepadamu demi Tuhan
Yang Esa agar engkau menjawab
pertanyaanku dengan jujur. ”
Rasulullah saw. menjawab, “Aku
selalu berkata jujur, tak pernah
berdusta. Bertanyalah. ” Bahira
bertanya, “Apa yang paling kau
sukai?” Rasulullah saw. menjawab,
“Kesendirian.” Bahira bertanya, “Apa
yang paling sering dan paling suka
kau perhatikan ?” Dia menjawab,
“Langit dan bintang-bintangnya.”
Bahira bertanya, “Apa yang kau
pikirkan?”
Rasulullah saw. tetap diam, tetapi
Bahira memperhatikan dahi beliau
dengan teliti dan akhirnya bertanya,
“ Kapan dan dengan pikiran apa
engkau tidur?” Beliau menjawab,
“Ketika, selagi aku melihat langit, aku
menlihat bintang-bintang dan
mendapatinya berada dalam
pangkuanku, dan diriku ada di
atasnya. ” Bahira bertanya, “Apakah
kau juga bermimpi?” Rasulullah
saw. menjawab, “Ya, dan apa saja
yang aku lihat dalam mimpi, aku
lihat juga dalam keadaan berjaga.”
Bahira terus bertanya, “Apa,
misalnya, yang kau lihat dalam
mimpi ?” Rasulullah saw. diam.
Bahira juga diam.
Setelah hening sejenak, Bahira
bertanya, “Boleh aku melihat di antar
kedua bahumu?” Tanpa bergerak,
Rasulullah saw. menjawab, “Ya,
silakan.” Bahira berdiri, mendekat
dan kemudian menyibakkan jubah
Rasulullah saw. dari bahunya. Dia
melihat tahi lalat hitam, dan
bergumam, “Sama.” Abu Thalib
bertanya, “Sama dengan apa? Apa
yang Anda katakan?” Bahir berkata,
“Katakan kepadaku. Apa hubungan
Anda dengan anak ini?” Abu Thalib,
yang sangat mencintai Rasulullah
saw. seperti anaknya sendiri,
menjawab, “dia anakku.” Bahira
menukas, “Bukan. Ayah anak ini
telah meninggal” Abu Th?lib
bertanya, “Betul. Bagaimana Anda
tahu? Dia memang anak saudaraku.”
Bahira berkata kepada Abu Thalib,
“ Dengar. Anak ini akan menjalani
kehidupan yang gemilang dan luar
biasa kelak di kemudian hari. Jika
orang lain mengetahui apa yang
telah kulihat dan mereka
mengenalinya, mereka akan
membunuh anak ini. Sembunyikan
dan lindungi dia dari musuh-
musuhnya. ” Abu Thalib bertanya,
“Katakan padaku, siapa
sesungguhnya anak ini?” Bahira pun
menjawab, “Dalam sorot matanya,
ada tanda-tanda seorang Nabi besar,
begitu pula di punggungnya. ”