Ketika Madinah terguncang gempa, Khalifah Umar bin Khattab mengetukkan tongkatnya ke bumi dan berkata, “Wahai bumi adakah aku berbuat tidak adil?” lalu berkata lantang, “Wahai penduduk Madinah, adakah kalian berbuat maksiat? Tinggalkan perbuatan itu, atau aku akan meninggalkan kalian!” (Ibn Hajar, Fath al-Bari, IX/244)
Bertubi-tubi negeri ini ditimpa bencana. Korbanpun berjatuhan. Tidak sedikit nyawa melayang karenanya. Tidak hanya itu, korban harta benda pun sudah tidak terhitung
lagi jumlahnya. Bayangkan, hanya dalam sebulan, negeri ini ditimpa tiga bencana; banjir bandang di Wasior, tsunami diMentawai dan letusan gunung Merapi yang hingga hari ini
masih belum diketahui kapan akan berakhir.
Qadha’ Alloh SWT
Musibah memang merupakan qadha’ Allah SWT. Dengan tegas, Allah pun menyatakan, “Katakanlah (Muhammad), ‘Kita sekali-kali tidak akan terkena musibah, kecuali apa
yang telah Allah tetapkan kepada kita.’” (TQS at-Taubah[09]: 51).
Iya, musibah memang merupakan qadha’-Nya,
dan Dia Maha Tahu tentang setiap rahasia di balik keputusan-Nya. Imam Ahmad menuturkan dari Ali berkata, “Maukah aku
beritahukan kepada kalian tentang ayat yang paling utama dalam Kitabullah ta’ala, Rasulullah SAW telah menceritakannya kepada kami, (yaitu ayat): “Apa saja (musibah) yang menimpa kalian, maka disebabkan oleh
perbuatan tangan-tanganmu sendiri dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (Q.s. As-Syura [42]: 30),
dan saya akan menafsirkannya kepadamu,
wahai Ali, apa-apa yang menimpa kalian berupa sakit, siksaan atau cobaan di dunia, sesungguhnya itu disebabkan oleh perbuatan tangan kalian dan Allah SWT Maha Pemurah
dari hendak mengadzab dua kali kepada mereka ketika diakhirat, sedangkan apa-apa yang Allah maafkan di dunia maka Allah SWT Maha Lembut dari hendak kembali setelah
memaafkannya.”
Memang benar musibah merupakan keputusan dan hak prerogatif Allah SWT. Tetapi, melalui riwayat Ahmad di atas,
Allah menegaskan bahwa apa yang ditimpakan-Nya kepada manusia itu kadang kala berupa siksaan dan ujian. Nabi pun
menegaskan, baik ujian maupun siksaan itu sama-sama merupakan konsekuensi dari ulah tangan manusia. Karena itu, Allah SWT mengingatkan, agar kita menjaga diri dari tertimpa fitnah (adzab), yang tidak hanya menimpa orang-orang yang zalim, tetapi juga orang-orang yang shalih (QS. al-Anfal [07]:
25).
Suatu ketika Zainab binti Jahsy bertanya kepada Nabi, “Wahai Nabi, apakah kami akan dihancurkan (oleh Allah), padahal di tengah-tengah kami ada orang-orang shalih?” Nabi menjawab, “Iya, jika keburukan (khabats) telah merajalela.” (HR Bukhari-Muslim).
Ketika Allah menyatakan, bahwa terjadinya kerusakan didaratan dan lautan adalah akibat ulah tangan manusia (QSar-Rum [30]: 41),
kerusakan yang dimaksud ini, menurut
para mufassir, bisa berupa kekeringan, pemanasan global, banjir bandang termasuk hancurnya ekosistem di lautan, dan lain-lain adalah ulah tangan manusia. Menurut as-
Shâbûni, yang dimaksud dengan ulah tangan manusia ini adalah faktor dosa-dosa dan kemaksiatan mereka (as- Shâ-bûni, Shafwatu at-Tafâsîr,). Tujuannya, agar mereka yang
ditimpa musibah tersebut bisa merasakan apa yang telah me-reka perbuat agar mereka kembali ke jalan yang benar (QS. ar-Rum [30]: 41).
Antara Ujian dan Adzab Karena musibah ini merupakan qadha’ Allah, maka rahasia
musibah ini hanya Allah Yang Maha Tahu. Hanya saja, Allah memberikan penjelasan kepada kita, bahwa musibah yang ditimpakan kepada manusia di muka bumi, memang bisa
jadi merupakan adzab. Allah berfirman, “Katakanlah, “Dialah yang Maha Kuasa untuk mengirimkan adzab kepadamu dari atas kamu atau dari bawah kakimu. Perhatikan-lah, betapa kami mendatangkan tanda-tanda
kebesaran Kami silih berganti agar mereka memahami-(nya).” (TQS al-An’am [06]: 65)
Para mufassir menjelaskan, adzab yang datang dari atas seperti hujan batu, petir, badai, angin taufan, awan panas (wedhus gembel) dan lain lain, sedangkan adzab yang datang dari bawah bumi seperti gempa bumi, banjir, gunung
meletus, tsunami dan sebagainya. Mereka juga menegaskan, ayat ini ditujukan kepada ahli maksiat (Lihat, at-Thabari, Tafsir at-Thabari, VII/141).
Dalam nash yang lain, Allah juga menyatakan,
“Sesungguhnya Kami merasakan kepada mereka sebahagian adzab yang dekat (didunia) sebelum adzab yang lebih besar (diakhirat), mudah-mudahan mereka kembali (kejalan yang benar).” (TQS as-Sajdah [32]: 21). Ibn ‘Abbas menjelaskan, bahwa adzab yang dekat itu adalah musibah dan bala’ di dunia, yang ditujukan kepada orang-orang fasik
atau ahli maksiat. Adzab itu diberikan kepada mereka didunia, sebe-lum di akhirat, agar mereka sadar, mau bertaubat dan kembali ke jalan Allah (at-Thabari, Tafsir at-Thabari,XXI/68).
Karena fenomena musibah ini sama, yaitu satu musibah yang diturunkan oleh Allah, tanpa memilah dan memilih obyek yang dikenai musibah, maka bagi orang-orang fasik dan ahli maksiat jelas merupakan adzab. Boleh jadi sebagian diantara mereka dibinasakan oleh Allah agar menjadi pelajaran bagi yang hidup, sehingga bagi yang sebelumnya durhaka dan mengingkari Allah dan hukum-hukum-Nya, bisa
segera bertaubat dan kembali ke jalan-Nya.
Adapun bagi orang-orang Mukmin, justru musibah ini menjadi ujian yang semakin meningkatkan kualitas keimanan dan ketaatannya kepada Allah SWT. Mereka
meyakini, bahwa musibah ini merupakan keputusan Allah.
Sikap mereka, sebagai-mana yang diajarkan oleh Rasul-Nya, adalah menerima semua keputusan-Nya, dengan lapang dada. Tidak ada keluhan, protes apalagi umpatan kepada
Allah. Mereka bersabar dan bersabar. Dengan begitu, mereka menda-patkan kebaikan, dosa-dosa mereka di masa lalu terampuni, dan surga pun siap menyambut mereka. Nabi bersabda, “Sungguh mengagumkan kondisi orang Mukmin, karena seluruh urusan-nya merupakan kebaikan. Jika dia mendapatkan kebaikan, dia bersyukur. Jika dia ditimpa kesulitan, dia bersabar, dan itu merupakan kebaikan baginya. Dan itu tidak mungkin diraih, kecuali oleh orang Mukmin.” (HR Muslim).
Baginda SAW juga menyatakan, “Tak
seseorang Muslim pun yang terkena duri atau lebih dari itu, kecuali dengannya Allah pasti akan angkat derajatnya, dan dengannya Allah akan hapus kesalahannya.” (HR Muslim).
Dalam riwayat lain dinyatakan, “Sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla berfirman, ‘Jika Aku uji hamba-Ku dengan kedua matanya, lalu dia bersabar, maka Aku akan menggantinya
dengan surga.” (HR Bukhari).