Kamis, 25 Juli 2013

WAHABI BERTANYA....

,WAHABI: “Mengapa Anda Tahlilan? Bukankah Imam al-Syafi’i melarang Tahlilan?”

SUNNI: “Setahu saya, Imam al-Syafi’i tidak pernah melarang Tahlilan. Anda pasti berbohong dalam perkataan Anda tentang larangan Tahlilan oleh Imam al-Syafi’i.”

WAHABI: “Bukankah dalam kitab-kitab madzhab Syafi’i telah diterangkan, bahwa selamatan selama tujuh hari kematian
itu bid’ah yang makruh, dan beliau juga berpendapat bahwa hadiah pahala bacaan al-Qur’an tidak sampai kepada mayit?”

SUNNI: “Nah, terus di mana letaknya Imam al-Syafi’i melarang Tahlilan? Apakah seperti yang Anda jelaskan itu? Kalau seperti itu maksud Anda, berarti Anda membesar-besarkan persoalan yang semestinya tidak perlu dibesar-
besarkan. “

WAHABI: “Kenapa begitu?”

SUNNI: “Madzhab Syafi’i dan beberapa madzhab lain memang memakruhkan suguhan makanan oleh keluarga mayit kepada para pentakziyah. Hukum makruh, artinya kan
boleh dikerjakan, hanya kalau ditinggalkan mendapatkan pahala. Kan begitu? Anda harus tahu, dalam beragama itu tidak cukup mematuhi hukum dengan cara meninggalkan
yang makruh. Tetapi juga harus melihat situasi dan adat istiadat masyarakat. Oleh karena itu, apabila adat istiadat masyarakat menuntut melakukan yang makruh itu, maka tetap harus dilakukan, demi menjaga kekompakan,
kebersamaan dan kerukunan dengan masyarakat sesama Muslim.”

WAHABI: “Kalau begitu, Anda lebih tunduk kepada hukum adat dari pada hukum agama.”

SUNNI: “Sepertinya Anda belum mengerti maksud perkataan saya.”

WAHABI: “Kok justru saya dianggap tidak mengerti?”

SUNNI; “Memang begitu kenyataannya. Anda belum faham. Agar Anda dapat memahami dengan baik, sekarang saya bertanya kepada Anda. Madzhab apa yang diikuti oleh kaum
Wahabi di Saudi Arabia dalam bidang fiqih? “

WAHABI: “Yang jelas Madzhab Hanbali.”

SUNNI: “Bagus kalau begitu, Anda sedikit mengerti. Begini, diantara kitab-kitab klasik yang ditulis oleh ulama madzhab Hanbali, adalah kitab al-Adab al-Syar’iyyah, karya Ibnu
Muflih al-Maqdisi. Kitab ini diterbitkan oleh pemerintahan Saudi Arabia, dan didistribusikan secara gratis kepada umat Islam. Dalam kitab tersebut terdapat keterangan begini;
ﻭَﻗَﺎﻝَ ﺍﺑْﻦُ ﻋَﻘِﻴﻞٍ ﻓِﻲ ﺍﻟْﻔُﻨُﻮﻥِ ﻟَﺎ ﻳَﻨْﺒَﻐِﻲ ﺍﻟْﺨُﺮُﻭﺝُ ﻣِﻦْ ﻋَﺎﺩَﺍﺕِ ﺍﻟﻨَّﺎﺱِ
ﺇﻟَّﺎ ﻓِﻲ ﺍﻟْﺤَﺮَﺍﻡِ ﻓَﺈِﻥَّ ﺍﻟﺮَّﺳُﻮﻝَ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺗَﺮَﻙَ ﺍﻟْﻜَﻌْﺒَﺔَ
ﻭَﻗَﺎﻝَ )ﻟَﻮْﻟَﺎ ﺣِﺪْﺛَﺎﻥُ ﻗَﻮْﻣِﻚِ ﺍﻟْﺠَﺎﻫِﻠِﻴَّﺔَ ( ﻭَﻗَﺎﻝَ ﻋُﻤَﺮُ ﻟَﻮْﻟَﺎ ﺃَﻥْ ﻳُﻘَﺎﻝَ ﻋُﻤَﺮُ
ﺯَﺍﺩَ ﻓِﻲ ﺍﻟْﻘُﺮْﺁﻥِ ﻟَﻜَﺘَﺒْﺖُ ﺁﻳَﺔَ ﺍﻟﺮَّﺟْﻢِ. ﻭَﺗَﺮَﻙَ ﺃَﺣْﻤَﺪُ ﺍﻟﺮَّﻛْﻌَﺘَﻴْﻦِ ﻗَﺒْﻞَ
ﺍﻟْﻤَﻐْﺮِﺏِ ﻟِﺈِﻧْﻜَﺎﺭِ ﺍﻟﻨَّﺎﺱِ ﻟَﻬَﺎ، ﻭَﺫَﻛَﺮَ ﻓِﻲ ﺍﻟْﻔُﺼُﻮﻝِ ﻋَﻦْ ﺍﻟﺮَّﻛْﻌَﺘَﻴْﻦِ ﻗَﺒْﻞَ
ﺍﻟْﻤَﻐْﺮِﺏِ ﻭَﻓَﻌَﻞَ ﺫَﻟِﻚَ ﺇﻣَﺎﻣُﻨَﺎ ﺃَﺣْﻤَﺪُ ﺛُﻢَّ ﺗَﺮَﻛَﻪُ ﺑِﺄَﻥْ ﻗَﺎﻝَ ﺭَﺃَﻳْﺖ ﺍﻟﻨَّﺎﺱَ ﻟَﺎ
ﻳَﻌْﺮِﻓُﻮﻧَﻪُ، ﻭَﻛَﺮِﻩَ ﺃَﺣْﻤَﺪُ ﻗَﻀَﺎﺀَ ﺍﻟْﻔَﻮَﺍﺋِﺖِ ﻓِﻲ ﻣُﺼَﻠَّﻰ ﺍﻟْﻌِﻴﺪِ ﻭَﻗَﺎﻝَ:
ﺃَﺧَﺎﻑُ ﺃَﻥْ ﻳَﻘْﺘَﺪِﻱَ ﺑِﻪِ ﺑَﻌْﺾُ ﻣَﻦْ ﻳَﺮَﺍﻩُ . )ﺍﻹﻣﺎﻡ ﺍﻟﻔﻘﻴﻪ ﺍﺑﻦ ﻣﻔﻠﺢ
ﺍﻟﺤﻨﺒﻠﻲ، ﺍﻵﺩﺍﺏ ﺍﻟﺸﺮﻋﻴﺔ، ٢ / ٤٧ )

“Imam Ibnu ‘Aqil berkata dalam kitab al-Funun, “Tidak baik keluar dari tradisi masyarakat, kecuali tradisi yang haram,
karena Rasulullah SAW telah membiarkan Ka’bah dan berkata, “Seandainya kaummu tidak baru saja meninggalkan masa-masa Jahiliyah…” Sayyidina Umar berkata: “Seandainya orang-orang tidak akan berkata, Umar menambah al-Qur’an, aku akan menulis ayat rajam di dalamnya.” Imam Ahmad
bin Hanbal meninggalkan dua raka’at sebelum maghrib karena masyarakat mengingkarinya. Dalam kitab al-Fushul disebutkan tentang dua raka’at sebelum Maghrib bahwa Imam kami Ahmad bin Hanbal pada awalnya melakukannya, namun kemudian meninggalkannya, dan beliau berkata, “Aku melihat orang-orang tidak mengetahuinya.” Ahmad bin Hanbal juga memakruhkan melakukan qadha’ shalat dimushalla pada waktu dilaksanakan shalat id (hari raya).
Beliau berkata, “Saya khawatir orang-orang yang melihatnya akan ikut-ikutan melakukannya.” (Al-Imam Ibn Muflih al-
Hanbali, al-Adab al-Syar’iyyah, juz 2, hal. 47).
Dalam pernyataan di atas jelas sekali, tidak baik meninggalkan tradisi masyarakat selama tradisi tersebut tidak haram. Suguhan makanan kepada pentakziyah itu hanya makruh, tidak haram. Karena hal itu sudah
mentradisi, ya kita ikuti saja. Kata pepatah Arab, tarkul-’adah ‘adawah (meninggalkan adat istiadat dapat menimbulkan permusuhan).”

WAHABI: “Tapi kan lebih baik tidak perlu suguhan makanan, agar tidak makruh.”

SUNNI: “Anda keras kepala. Tidak mengerti pembicaraan orang. Coba Anda pahami perkataan Ibnu Aqil dalam al-Funun di atas. Di antara dasar mengapa, kita dianjurkan
mengikuti tradisi selama tidak haram, adalah hadits yang berbunyi:
ﻋَﻦْ ﻋَﺎﺋِﺸَﺔَ ﺭَﺿِﻲَ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻨْﻬﺎ ﺃَﻥَّ ﺭَﺳُﻮﻝَ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ
ﻗَﺎﻝَ ﻟَﻬَﺎ ﺃَﻟَﻢْ ﺗَﺮَﻱْ ﺃَﻥَّ ﻗَﻮْﻣَﻚِ ﻟَﻤَّﺎ ﺑَﻨَﻮْﺍ ﺍﻟْﻜَﻌْﺒَﺔَ ﺍﻗْﺘَﺼَﺮُﻭﺍ ﻋَﻦْ ﻗَﻮَﺍﻋِﺪِ
ﺇِﺑْﺮَﺍﻫِﻴﻢَ ﻓَﻘُﻠْﺖُ ﻳَﺎ ﺭَﺳُﻮﻝَ ﺍﻟﻠﻪِ ﺃَﻟَﺎ ﺗَﺮُﺩُّﻫَﺎ ﻋَﻠَﻰ ﻗَﻮَﺍﻋِﺪِ ﺇِﺑْﺮَﺍﻫِﻴﻢَ ﻗَﺎﻝَ
ﻟَﻮْﻟَﺎ ﺣِﺪْﺛَﺎﻥُ ﻗَﻮْﻣِﻚِ ﺑِﺎﻟْﻜُﻔْﺮِ ﻟَﻔَﻌَﻠْﺖُ. ) ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺒﺨﺎﺭﻱ ﻭﻣﺴﻠﻢ )

“Dari Aisyah RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda kepadanya: “Apakah kamu tidak tahu, bahwa ketika kaummu membangun Ka’bah, tidak sempurna pada pondasi
yang dibangun oleh Nabi Ibrahim AS.” Aku berkata: “Wahai Rasulullah, apakah tidak engkau kembalikan Ka’bah kepada
pondasi Nabi Ibrahim?” Beliau menjawab: “Seandainya bukan karena kaummu baru meninggalkan kekufuran, pasti aku lakukan.” HR al-Bukhari dan Muslim.

Dalam hadits di atas dijelaskan, bahwa Rasulullah SAW tidak merekonstruksi Ka’bah agar sesuai dengan Ka’bah yang dibangun oleh Nabi Ibrahim AS, hanya karena khawatir
menimbulkan fitnah, karena kaumnya baru meninggalkan masa-masa Jahiliyah. Sampai sekarang Ka’bah yang ada, lebih kecil dari Ka’bah yang dibangun oleh Nabi Ibrahim AS.
Ka’bah saja, yang merupakan kiblat umat Islam dalam menunaikan shalat dan ibadah haji, dibiarkan oleh Rasulullah SAW, karena alasan tradisi, apalagi masalah kenduri tujuh hari, yang hukumnya hanya makruh.
Persoalan Ka’bah jelas lebih besar dari selamatan Tahlilan.”

WAHABI: “Tapi dengan adanya selamatan selama tujuh hari, itu berarti meninggalkan Sunnah atau melakukan makruh yang disepakati.”

SUNNI: “Siapa bilang selamatan tujuh hari itu makruh yang disepakati? Dalam masalah ini masih terdapat beberapa pendapat. Berikut rinciannya: Tidak semua kaum salaf memakruhkan hidangan makanan yang dibuat oleh keluarga si mati untuk orang-orang yang
berta’ziyah. Dalam masalah ini ada khilafiyah di kalangan mereka. Pandangan-pandangan tersebut antara lain sebagai berikut ini:

-Pertama, riwayat dari Khalifah Umar bin al-Khatthab yang berwasiat agar disediakan makanan bagi mereka yang berta’ziyah. Al-Imam Ahmad bin Mani’ meriwayatkan:
ﻋَﻦِ ﺍﻟْﺄَﺣْﻨَﻒِ ﺑْﻦِ ﻗَﻴْﺲٍ ﻗَﺎﻝَ ﻛُﻨْﺖُ ﺃَﺳْﻤَﻊُ ﻋُﻤَﺮَ ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻪ ﻳَﻘُﻮْﻝُ
ﻻَ ﻳَﺪْﺧُﻞُ ﺃَﺣَﺪٌ ﻣِﻦْ ﻗُﺮَﻳْﺶٍ ﻓِﻲْ ﺑَﺎﺏٍ ﺇِﻟَّﺎ ﺩَﺧَﻞَ ﻣَﻌَﻪُ ﻧَﺎﺱٌ ﻓَﻼَ ﺃَﺩْﺭِﻱْ ﻣَﺎ
ﺗَﺄْﻭِﻳْﻞُ ﻗَﻮْﻟِﻪِ ﺣَﺘَّﻰ ﻃُﻌِﻦَ ﻋُﻤَﺮُ ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻪ ﻓَﺄَﻣَﺮَ ﺻُﻬَﻴْﺒًﺎ ﺭﺿﻲ
ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻪ ﺃَﻥْ ﻳُﺼَﻠِّﻲَ ﺑِﺎﻟﻨَّﺎﺱِ ﺛَﻼَﺛًﺎ ﻭَﺃَﻣَﺮَ ﺃَﻥْ ﻳُﺠْﻌَﻞَ ﻟِﻠﻨَّﺎﺱِ ﻃَﻌَﺎﻣﺎً
ﻓَﻠَﻤَّﺎ ﺭَﺟَﻌُﻮْﺍ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﺠَﻨَﺎﺯَﺓِ ﺟَﺎﺅُﻭْﺍ ﻭَﻗَﺪْ ﻭُﺿِﻌَﺖِ ﺍﻟْﻤَﻮَﺍﺋِﺪُ ﻓَﺄَﻣْﺴَﻚَ
ﺍﻟﻨَّﺎﺱُ ﻋَﻨْﻬَﺎ ﻟِﻠْﺤُﺰْﻥِ ﺍﻟَّﺬِﻱْ ﻫُﻢْ ﻓِﻴْﻪِ. ﻓَﺠَﺎﺀَ ﺍﻟْﻌَﺒَّﺎﺱُ ﺑْﻦُ ﻋَﺒْﺪِ ﺍﻟْﻤُﻄَّﻠِﺐِ
ﻗَﺎﻝَ : ﻳَﺎ ﺃَﻳُّﻬَﺎ ﺍﻟﻨَّﺎﺱُ ﻗَﺪْ ﻣَﺎﺕَ ﺭَﺳُﻮﻝ ﺍﻟﻠَّﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ
ﻓَﺄَﻛَﻠْﻨَﺎ ﺑَﻌْﺪَﻩُ ﻭَﺷَﺮِﺑْﻨَﺎ، ﻭَﻣَﺎﺕَ ﺃَﺑُﻮ ﺑَﻜْﺮٍ ﻓَﺄَﻛَﻠْﻨَﺎ ﺑَﻌْﺪَﻩُ ﻭَﺷَﺮِﺑْﻨَﺎ، ﺃَﻳُّﻬَﺎ
ﺍﻟﻨَّﺎﺱُ ﻛُﻠُﻮﺍ ﻣِﻦْ ﻫَﺬَﺍ ﺍﻟﻄَّﻌَﺎﻡِ، ﻓَﻤَﺪَّ ﻳَﺪَﻩُ ﻭَﻣَﺪَّ ﺍﻟﻨَّﺎﺱ ﺃَﻳْﺪِﻳَﻬُﻢ ﻓَﺄَﻛَﻠُﻮﺍ،
ﻓَﻌَﺮَﻓْﺖُ ﺗَﺄَﻭﻳﻞ ﻗَﻮﻟﻪ .
“Dari Ahnaf bin Qais, berkata: “Aku mendengar Umar berkata: “Seseorang dari kaum Quraisy tidak memasuki satu pintu, kecuali orang-orang akan masuk bersamanya.” Aku tidak mengerti maksud perkataan beliau, sampai akhirnya Umar ditusuk, lalu memerintahkan Shuhaib menjadi imam sholat selama tiga hari dan memerintahkan menyediakan makanan bagi manusia. Setelah mereka pulang dari jenazah Umar, mereka datang, sedangkan hidangan makanan telah disiapkan. Lalu mereka tidak jadi makan, karena duka cita
yang menyelimuti. Lalu Abbas bin Abdul Mutthalib datang dan berkata: “Wahai manusia, dulu Rasulullah SAW meninggal, lalu kita makan dan minum sesudah itu. Lalu
Abu Bakar meninggal, kita makan dan minum sesudahnya. Wahai manusia, makanlah dari makanan ini.” Lalu Abbas menjamah makanan itu, dan orang-orang pun menjamahnya
untuk dimakan. Aku baru mengerti maksud pernyataan Umar tersebut.” Hadits tersebut diriwayatkan oleh Ibnu Mani’ dalam al-Musnad, dan dikutip oleh al-Hafizh Ibnu Hajar, dalam al- Mathalib al-’Aliyah, juz 5 hal. 328 dan al-Hafizh al-Bushiri, dalam Ithaf al-Khiyarah al-Maharah, juz 3 hal. 289.

-Kedua, riwayat dari Sayyidah Aisyah, istri Nabi SAW ketika ada keluarganya meninggal dunia, beliau menghidangkanmakanan. Imam Muslim meriwayatkan dalam Shahih-nya:
ﻋَﻦْ ﻋُﺮْﻭَﺓَ ﻋَﻦْ ﻋَﺎﺋِﺸَﺔَ ﺯَﻭْﺝِ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲِّ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺃَﻧَّﻬَﺎ ﻛَﺎﻧَﺖْ
ﺇِﺫَﺍ ﻣَﺎﺕَ ﺍﻟْﻤَﻴِّﺖُ ﻣِﻦْ ﺃَﻫْﻠِﻬَﺎ ﻓَﺎﺟْﺘَﻤَﻊَ ﻟِﺬَﻟِﻚَ ﺍﻟﻨِّﺴَﺎﺀُ ﺛُﻢَّ ﺗَﻔَﺮَّﻗْﻦَ ﺇِﻻَّ
ﺃَﻫْﻠَﻬَﺎ ﻭَﺧَﺎﺻَّﺘَﻬَﺎ ﺃَﻣَﺮَﺕْ ﺑِﺒُﺮْﻣَﺔٍ ﻣِﻦْ ﺗَﻠْﺒِﻴْﻨَﺔٍ ﻓَﻄُﺒِﺨَﺖْ ﺛُﻢَّ ﺻُﻨِﻊَ ﺛَﺮِﻳْﺪٌ
ﻓَﺼُﺒَّﺖْ ﺍﻟﺘَّﻠْﺒِﻴْﻨَﺔُ ﻋَﻠَﻴْﻬَﺎ ﺛُﻢَّ ﻗَﺎﻟَﺖْ ﻛُﻠْﻦَ ﻣِﻨْﻬَﺎ ﻓَﺈِﻧِّﻲْ ﺳَﻤِﻌْﺖُ ﺭَﺳُﻮْﻝَ
ﺍﻟﻠﻪِ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻳَﻘُﻮْﻝُ ﺍَﻟﺘَّﻠْﺒِﻴْﻨَﺔُ ﻣُﺠِﻤَّﺔٌ ﻟِﻔُﺆَﺍﺩِ ﺍﻟْﻤَﺮِﻳْﺾِ
ﺗُﺬْﻫِﺐُ ﺑَﻌْﺾَ ﺍﻟْﺤُﺰْﻥِ. ﺭﻭﺍﻩ ﻣﺴﻠﻢ .

“Dari Urwah, dari Aisyah, istri Nabi SAW, bahwa apabila seseorang dari keluarga Aisyah meninggal, lalu orang-orang perempuan berkumpul untuk berta’ziyah, kemudian mereka berpisah kecuali keluarga dan orang-orang dekatnya, maka Aisyah menyuruh dibuatkan talbinah (sop atau kuah dari
tepung dicampur madu) seperiuk kecil, lalu dimasak. Kemudian dibuatkan bubur. Lalu sop tersebut dituangkan kebubur itu. Kemudian Aisyah berkata: “Makanlah kalian, karena aku mendengar Rasulullah SAW bersabda:

“Talbinah dapat menenangkan hati orang yang sakit dan menghilangkan sebagian kesusahan.” (HR. Muslim [2216]).
Dua hadits di atas mengantarkan pada kesimpulan bahwa pemberian makanan oleh keluarga duka cita kepada orang-orang yang berta’ziyah tidak haram. Khalifah Umar berwasiat, agar para penta’ziyah diberi makan. Sementara Aisyah, ketika ada keluarganya meninggal, menyuruh dibuatkan kuah dan bubur untuk diberikan kepada keluarga, orang-orang dekat dan teman-temannya yang
sedang bersamanya. Dengan demikian, tradisi pemberian makan kepada para penta’ziyah telah berlangsung sejak generasi sahabat Nabi SAW.

-Ketiga, tradisi kaum salaf sejak generasi sahabat yang bersedekah makanan selama tujuh hari kematian untuk meringankan beban si mati. Dalam hal ini, al-Imam Ahmad
bin Hanbal meriwayatkan dalam kitab al-Zuhd:
ﻋَﻦْ ﺳُﻔْﻴَﺎﻥَ ﻗَﺎﻝَ ﻗَﺎﻝَ ﻃَﺎﻭُﻭْﺱُ ﺇِﻥَّ ﺍﻟْﻤَﻮْﺗَﻰ ﻳُﻔْﺘَﻨُﻮْﻥَ ﻓِﻲْ ﻗُﺒُﻮْﺭِﻫِﻢْ
ﺳَﺒْﻌﺎً ﻓَﻜَﺎﻧُﻮْﺍ ﻳَﺴْﺘَﺤِﺒُّﻮْﻥَ ﺃَﻥْ ﻳُﻄْﻌَﻢَ ﻋَﻨْﻬُﻢْ ﺗِﻠْﻚَ ﺍﻟْﺄَﻳﺎَّﻡَ .
“Dari Sufyan berkata: “Thawus berkata:“Sesungguhnya orang yang mati akan diuji di dalam kubur selama tujuh hari, karena itu mereka (kaum salaf) menganjurkan sedekah
makanan selama hari-hari tersebut.” Hadits di atas diriwayatkan al-Imam Ahmad bin Hanbal
dalam al-Zuhd, al-Hafizh Abu Nu’aim dalam Hilyah al-Auliya’ (juz 4 hal. 11), al-Hafizh Ibnu Rajab dalam Ahwal al-Qubur (32), al-Hafizh Ibnu Hajar dalam al-Mathalib al-’Aliyah
(juz 5 hal. 330) dan al-Hafizh al-Suyuthi dalam al-Hawi lil-Fatawi (juz 2 hal. 178).

Menurut al-Hafizh al-Suyuthi, hadits di atas diriwayatkan secara mursal dari Imam Thawus dengan sanad yang shahih. Hadits tersebut diperkuat dengan hadits Imam Mujahid yang diriwayatkan oleh Ibnu Rajab dalam Ahwal al-
Qubur dan hadits Ubaid bin Umair yang diriwayatkan oleh Imam Waki’ dalam al-Mushannaf, sehingga kedudukan
hadits Imam Thawus tersebut dihukumi marfu’ yang shahih.

Demikian kesimpulan dari kajian al-Hafizh al-Suyuthi dalam al-Hawi lil-Fatawi.
Tradisi bersedekah kematian selama tujuh hari berlangsung diKota Makkah dan Madinah sejak generasi sahabat, hingga abad kesepuluh Hijriah, sebagaimana dijelaskan oleh al-
Hafizh al-Suyuthi. Keempat, pendapat Imam Malik bin Anas, pendiri madzhab
Maliki, bahwa hidangan kematian yang telah menjadi tradisi masyarakat dihukumi jaiz (boleh), dan tidak makruh. Dalam konteks ini, Syaikh Abdullah al-Jurdani berkata:
ﻳَﺠُﻮْﺯُ ﻣِﻨْﻪُ ﻣَﺎ ﺟَﺮَﺕْ ﺑِﻪِ ﺍﻟْﻌَﺎﺩَﺓُ ﻋِﻨْﺪَ ﺍﻟْﺈِﻣﺎَﻡِ ﻣَﺎﻟِﻚٍ ﻛَﺎﻟْﺠُﻤَﻊِ ﻭَﻧَﺤْﻮِﻫَﺎ
ﻭَﻓِﻴْﻪِ ﻓُﺴْﺤَﺔٌ ﻛَﻤَﺎ ﻗَﺎﻟَﻪُ ﺍﻟْﻌَﻼَّﻣَﺔُ ﺍﻟْﻤُﺮْﺻِﻔِﻲُّ ﻓِﻲْ ﺭِﺳَﺎﻟَﺔٍ ﻟَﻪُ .
“Hidangan kematian yang telah berlaku menjadi tradisi seperti tradisi Juma’ dan sesamanya adalah boleh menurut
Imam Malik. Pandangan ini mengandung keringanan sebagaimana dikatakan oleh al-Allamah al-Murshifi dalam risalahnya.” (Syaikh Abdullah al-Jurdani, Fath al-’Allam Syarh Mursyid al-Anam, juz 3 hal. 218).
Berdasarkan paparan di atas, dapat kita simpulkan bahwa hukum memberi makan orang-orang yang berta’ziyah masih diperselisihkan di kalangan ulama salaf sendiri antara pendapat yang mengatakan makruh, mubah dan Sunnat. Dikalangan ulama salaf tidak ada yang berpendapat haram.
Bahkan untuk selamatan selama tujuh hari, berdasarkan riwayat Imam Thawus, justru dianjurkan oleh kaum salaf sejak generasi sahabat dan berlangsung di Makkah dan
Madinah hingga abad kesepuluh Hijriah.
Nah, dengan demikian, hukum suguhan makanan sebenarnya masih diperselisihkan di kalangan ulama. Kalau Anda kaum Wahabi terus memerangi suguhan makanan
dalam acara tujuh hari, justru Anda yang melanggar hukum agama.”

WAHABI: “Kok justru kami yang melanggar hukum agama?”

SUNNI: “Ya betul. Dalam kaedah fiqih disebutkan, laayunkaru al-mukhlatafu fiih wa innamaa yunkaru al-mujma’u ‘alaih (tidak boleh mengingkari hukum yang diperselisihkan
di kalangan ulama. Akan tetapi hanya hukum yang disepakati para ulama yang harus diprotes/ditolak).”

WAHABI: “Lalu bagaimana dengan pengiriman hadiah pahala bacaan al-Qur’an kepada mayit? Bukankah Imam al-Syafi’i melarang?”

SUNNI: “Imam al-Syafi’i tidak melarang apalagi
mengharamkan. Beliau hanya berpendapat bahwa pengiriman hadiah pahala bacaan al-Qur’an menurut beliau tidak sampai. Sementara menurut Imam Abu Hanifah, Malik
dan Ahmad bin Hanbal, dikatakan sampai. Banyak juga pengikut madzhab Syafi’i yang berpendapat sampai. Sedangkan pengiriman hadiah pahala selain al-Qur’an seperti sedekah, istighfar, shalawat, tahlil dan tasbih, semua ulama sepakat sampai. Jadi masalah ini persoalan kecil yang tidak perlu dibesar-besarkan. Dan perlu Anda ketahui, bahwa meskipun Imam al-Syafi’i berpendapat tidak sampai tentang pahala al-Qur’an, beliau
menganjurkan membaca al-Qur’an di kuburan seseorang, agar mendapatkan barokahnya bacaan al-Qur’an. Anda harus tahu masalah ini.”

WAHABI: “Mengapa kalian tidak konsisten dengan madzhab Syafi’i, dan tidak usah Tahlilan?”

SUNNI: “Anda benar-benar bodoh. Imam al-Syafi’i tidak melarang Tahlilan. Sudah saya katakan berkali-kali. Dan anda juga bodoh, bahwa dalam bermadzhab, tidak berarti
harus mengikuti semua pendapat Imam Madzhab secara keseluruhan. Tetapi mengikuti pendapat Imam Madzhab yang kuat dalilnya. Dalam madzhab Syafi’i ada kaedah,
apabila pendapat lama Imam al-Syafi’i (Qaul Qadim) bertentangan dengan pendapatnya yang baru (Qaul Jadid), maka yang diikuti adalah Qaul Jadid. Hanya dalam 12 masalah, para ulama mengikuti Qaul Jadid, karena dalilnya lebih kuat. Anda ini lucu, katanya tidak taklid kepada ulama, semata-mata mengikuti al-Qur’an dan Sunnah, tapi
Anda memaksa kami meninggalkan Tahlilan, dengan alasan Imam kami melarang Tahlilan.”

WAHABI: “Menurut salah seorang ustadz kami (Firanda), riwayat dari Khalifah Umar, tentang suguhan makanan oleh keluarganya kepada para pentakziyah, adalah dha’if. Mengapa Anda sampaikan?”

SUNNI: “Kami pengikut ahli hadits dan Ahlussunnah Wal-Jama’ah, bukan pengikut Wahabi seperti Anda. Coba Anda perhatikan perkataan Imam Ahmad bin Hanbal:
ﺇﺫﺍ ﺭﻭﻳﻨﺎ ﻋﻦ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭ ﺳﻠﻢ ﻓﻲ ﺍﻟﺤﻼﻝ
ﻭﺍﻟﺤﺮﺍﻡ ﻭﺍﻟﺴﻨﻦ ﻭﺍﻷﺣﻜﺎﻡ ﺗﺸﺪﺩﻧﺎ ﻓﻲ ﺍﻷﺳﺎﻧﻴﺪ ﻭﺇﺫﺍ ﺭﻭﻳﻨﺎ ﻋﻦ
ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭ ﺳﻠﻢ ﻓﻲ ﻓﻀﺎﺋﻞ ﺍﻷﻋﻤﺎﻝ ﻭﻣﺎ ﻻ ﻳﻀﻊ
ﺣﻜﻤﺎ ﻭﻻ ﻳﺮﻓﻌﻪ ﺗﺴﺎﻫﻠﻨﺎ ﻓﻲ ﺍﻷﺳﺎﻧﻴﺪ
Dalam pernyataan tersebut, yang diperketat dalam penerimaan riwayat itu, kalau berupa hadits dari Rasulullah

SAW. Berarti kalau bukan hadits Nabi SAW, seperti atsar Khalifah Umar, tidak perlu diperketat. Tolong Anda fahami dengan baik. Anda tahu Syaikh al-Albani?”

WAHABI: “Ya, kami tahu. Menurut kami beliau ulama besar dalam bidang hadits. Kenapa dengan Syaikh al-Albani?”

SUNNI: “Al-Albani mengutip perkataan Imam Ahmad bin Hanbal dalam sebagian kitabnya:
ﻻ ﻳﻨﺒﻐﻲ ﻟﻔﻘﻴﻪ ﺃﻥ ﻳﺤﻤﻞ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻋﻠﻰ ﻣﺬﻫﺒﻪ
“Tidak sebaiknya bagi seorang ahli fiqih, memaksa orang lain mengikuti madzhabnya.”
Jadi kalau Anda mengakui al-Albani sebagai panutan Wahabi, Anda tidak perlu memaksa umat Islam yang memang bermadzhab Syafi’i, untuk mengikuti ajaran Wahabi yang anda ikuti.”

Wallahu a’lam.

NS : http://tinyurl.com/k8nu6z7

Rabu, 24 Juli 2013

REMAJA.......

katanya masa depan ditangan Anak-anak kita,.... bullshit...  !

apa yang orangtua berikan..... ?!!
dimana suara2 Ta'lim dirumah2 Anda... ?
kemana dengungan Ayat2 cinta dari Alloh SWT dirumah Anda...?

yang ada dirumah kita hanya Sinetron bullshit Lebay merusak !
dan berjejal Iklan2 mengexpose wanita2..... !

hingga adapun ada Ulama yg ingin beribadah poligami seakan2 sluruh manusia dari KERAK bumi ingin membumi luluh lantahkan itu Ulama hingga tiada lagi nampak dia dimuka jagad raya... ! tragisnya yg melakukannya adalah Umat ini sendiri.... !!!

namun. ketika ada seseorang yang jelas2 berMaksiat, berZinah..! belum lama kluar dr pengasingannya, sudah muncul berjejalan  disemua sektor media. bahkan jadi bintang acara Sahur Ramadhan....

kmna orang2 dalam kasus Ulama kita itu.... ??
BULLSHIT.... !!!

dimana orang yg bertanggung jawab dalm pendidikan... !?
BULLSHIT.... !?

dimana orang2 semua.... ?
BULLSHIT.. ... !

maka Remaja itu masadepan bangsa...
BULLSHIT....... !!!!!

Senin, 22 Juli 2013

We have a planning..... !!!!

Jika kalian tidak mau kebaikan dan tidak mau diberi kebaikan/menerima kebenaran/kebaikan. Maka silahkan sekehendak kamu untuk menentang Ayat ini.......
" maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaaan di antara mereka dengan cara yang ma'ruf (ALBAKHOROH.232)

Allah SWT berfirman dalam Qs. an-Nisâ’ [4]: 19:
“Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai/menguasai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menghalangi mereka kawin dan menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan perbuatan keji"

Dan juga tentanglah cara yang dibenarkan oleh Nabi-Nya yaitu....,
"Kalau wali-wali itu enggan maka Sultan atau hakim menjadi wali bagi perempuan yang tidak mempunyai wali". (Riwayat Abu Daud dan At-Tirmizi)....

jika Ayat dan Hadist diatas datangnya dari Alloh SWT dan penyampainya adalah Muhammad SWA. mengapa kalian yang mengaku hamba dan umatnya sangat bertentangan dari satu petunjuk yang kalian Imani...

Yang bersangkutanpun mengakui dan dengan santainya berkata. " ini benar.... " dan dilain waktu dengan entengnya keluarga itu berkata " biar saya yang menanggung dosanya.... " Nauzubillah...... binatangpun sepertinya tidak bodoh dan sejahat demikian.

Dan lalu dilain pihak juga kalian siapa... ? hanya kaum bar-bar dari negri entah bratah yang datang bergerombol secara arogan karna mendapat kabar selintas dari mahluk penyakitan. Sungguh ia hanya berlindung dari dosa dibalik kebodohan kalian atas rasa takutnya....
we have a planning....! tidak serta merta berjalan tanpa tujuan. meski tidak dipungkiri kami punya kesalahan namun kami brani maju kehadapan peradilan.... demi Zat yang kekuasaan ada digenggamanya, kalian salah menolong kejahilan.....

Senin, 15 Juli 2013

MAKSIAT MENGUNDANG BENCANA....

Ketika Madinah terguncang gempa, Khalifah Umar bin Khattab mengetukkan tongkatnya ke bumi dan berkata, “Wahai bumi adakah aku berbuat tidak adil?” lalu berkata lantang, “Wahai penduduk Madinah, adakah kalian berbuat maksiat? Tinggalkan perbuatan itu, atau aku akan meninggalkan kalian!” (Ibn Hajar, Fath al-Bari, IX/244)

Bertubi-tubi negeri ini ditimpa bencana. Korbanpun berjatuhan. Tidak sedikit nyawa melayang karenanya. Tidak hanya itu, korban harta benda pun sudah tidak terhitung
lagi jumlahnya. Bayangkan, hanya dalam sebulan, negeri ini ditimpa tiga bencana; banjir bandang di Wasior, tsunami diMentawai dan letusan gunung Merapi yang hingga hari ini
masih belum diketahui kapan akan berakhir.
Qadha’ Alloh SWT

Musibah memang merupakan qadha’ Allah SWT. Dengan tegas, Allah pun menyatakan, “Katakanlah (Muhammad), ‘Kita sekali-kali tidak akan terkena musibah, kecuali apa
yang telah Allah tetapkan kepada kita.’” (TQS at-Taubah[09]: 51).

Iya, musibah memang merupakan qadha’-Nya,
dan Dia Maha Tahu tentang setiap rahasia di balik keputusan-Nya. Imam Ahmad menuturkan dari Ali berkata, “Maukah aku
beritahukan kepada kalian tentang ayat yang paling utama dalam Kitabullah ta’ala, Rasulullah SAW telah menceritakannya kepada kami, (yaitu ayat): “Apa saja (musibah) yang menimpa kalian, maka disebabkan oleh
perbuatan tangan-tanganmu sendiri dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (Q.s. As-Syura [42]: 30),
dan saya akan menafsirkannya kepadamu,
wahai Ali, apa-apa yang menimpa kalian berupa sakit, siksaan atau cobaan di dunia, sesungguhnya itu disebabkan oleh perbuatan tangan kalian dan Allah SWT Maha Pemurah
dari hendak mengadzab dua kali kepada mereka ketika diakhirat, sedangkan apa-apa yang Allah maafkan di dunia maka Allah SWT Maha Lembut dari hendak kembali setelah
memaafkannya.”

Memang benar musibah merupakan keputusan dan hak prerogatif Allah SWT. Tetapi, melalui riwayat Ahmad di atas,
Allah menegaskan bahwa apa yang ditimpakan-Nya kepada manusia itu kadang kala berupa siksaan dan ujian. Nabi pun
menegaskan, baik ujian maupun siksaan itu sama-sama merupakan konsekuensi dari ulah tangan manusia. Karena itu, Allah SWT mengingatkan, agar kita menjaga diri dari tertimpa fitnah (adzab), yang tidak hanya menimpa orang-orang yang zalim, tetapi juga orang-orang yang shalih (QS. al-Anfal [07]:
25).

Suatu ketika Zainab binti Jahsy bertanya kepada Nabi, “Wahai Nabi, apakah kami akan dihancurkan (oleh Allah), padahal di tengah-tengah kami ada orang-orang shalih?” Nabi menjawab, “Iya, jika keburukan (khabats) telah merajalela.” (HR Bukhari-Muslim).
Ketika Allah menyatakan, bahwa terjadinya kerusakan didaratan dan lautan adalah akibat ulah tangan manusia (QSar-Rum [30]: 41),

kerusakan yang dimaksud ini, menurut
para mufassir, bisa berupa kekeringan, pemanasan global, banjir bandang termasuk hancurnya ekosistem di lautan, dan lain-lain adalah ulah tangan manusia. Menurut as-
Shâbûni, yang dimaksud dengan ulah tangan manusia ini adalah faktor dosa-dosa dan kemaksiatan mereka (as- Shâ-bûni, Shafwatu at-Tafâsîr,). Tujuannya, agar mereka yang
ditimpa musibah tersebut bisa merasakan apa yang telah me-reka perbuat agar mereka kembali ke jalan yang benar (QS. ar-Rum [30]: 41).

Antara Ujian dan Adzab Karena musibah ini merupakan qadha’ Allah, maka rahasia
musibah ini hanya Allah Yang Maha Tahu. Hanya saja, Allah memberikan penjelasan kepada kita, bahwa musibah yang ditimpakan kepada manusia di muka bumi, memang bisa
jadi merupakan adzab. Allah berfirman, “Katakanlah, “Dialah yang Maha Kuasa untuk mengirimkan adzab kepadamu dari atas kamu atau dari bawah kakimu. Perhatikan-lah, betapa kami mendatangkan tanda-tanda
kebesaran Kami silih berganti agar mereka memahami-(nya).” (TQS al-An’am [06]: 65)

Para mufassir menjelaskan, adzab yang datang dari atas seperti hujan batu, petir, badai, angin taufan, awan panas (wedhus gembel) dan lain lain, sedangkan adzab yang datang dari bawah bumi seperti gempa bumi, banjir, gunung
meletus, tsunami dan sebagainya. Mereka juga menegaskan, ayat ini ditujukan kepada ahli maksiat (Lihat, at-Thabari, Tafsir at-Thabari, VII/141).

Dalam nash yang lain, Allah juga menyatakan,
“Sesungguhnya Kami merasakan kepada mereka sebahagian adzab yang dekat (didunia) sebelum adzab yang lebih besar (diakhirat), mudah-mudahan mereka kembali (kejalan yang benar).” (TQS as-Sajdah [32]: 21). Ibn ‘Abbas menjelaskan, bahwa adzab yang dekat itu adalah musibah dan bala’ di dunia, yang ditujukan kepada orang-orang fasik
atau ahli maksiat. Adzab itu diberikan kepada mereka didunia, sebe-lum di akhirat, agar mereka sadar, mau bertaubat dan kembali ke jalan Allah (at-Thabari, Tafsir at-Thabari,XXI/68).

Karena fenomena musibah ini sama, yaitu satu musibah yang diturunkan oleh Allah, tanpa memilah dan memilih obyek yang dikenai musibah, maka bagi orang-orang fasik dan ahli maksiat jelas merupakan adzab. Boleh jadi sebagian diantara mereka dibinasakan oleh Allah agar menjadi pelajaran bagi yang hidup, sehingga bagi yang sebelumnya durhaka dan mengingkari Allah dan hukum-hukum-Nya, bisa
segera bertaubat dan kembali ke jalan-Nya.
Adapun bagi orang-orang Mukmin, justru musibah ini menjadi ujian yang semakin meningkatkan kualitas keimanan dan ketaatannya kepada Allah SWT. Mereka
meyakini, bahwa musibah ini merupakan keputusan Allah.

Sikap mereka, sebagai-mana yang diajarkan oleh Rasul-Nya, adalah menerima semua keputusan-Nya, dengan lapang dada. Tidak ada keluhan, protes apalagi umpatan kepada
Allah. Mereka bersabar dan bersabar. Dengan begitu, mereka menda-patkan kebaikan, dosa-dosa mereka di masa lalu terampuni, dan surga pun siap menyambut mereka. Nabi bersabda, “Sungguh mengagumkan kondisi orang Mukmin, karena seluruh urusan-nya merupakan kebaikan. Jika dia mendapatkan kebaikan, dia bersyukur. Jika dia ditimpa kesulitan, dia bersabar, dan itu merupakan kebaikan baginya. Dan itu tidak mungkin diraih, kecuali oleh orang Mukmin.” (HR Muslim).

Baginda SAW juga menyatakan, “Tak
seseorang Muslim pun yang terkena duri atau lebih dari itu, kecuali dengannya Allah pasti akan angkat derajatnya, dan dengannya Allah akan hapus kesalahannya.” (HR Muslim).
Dalam riwayat lain dinyatakan, “Sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla berfirman, ‘Jika Aku uji hamba-Ku dengan kedua matanya, lalu dia bersabar, maka Aku akan menggantinya
dengan surga.” (HR Bukhari).

NS :  http://tinyurl.com/pett5se